Pesantren Al Hidayah dan Dinamika Adaptasi Pendidikan di Tengah Perubahan Sosial

ADV

Dalam perspektif sosiologi pendidikan, lembaga pendidikan bukanlah ruang kosong yang netral, melainkan sebuah institusi sosial yang membentuk dan dibentuk oleh struktur masyarakat tempat ia berada. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai medium transmisi pengetahuan, tetapi juga sebagai mekanisme reproduksi nilai, struktur kekuasaan, norma sosial, dan pembentukan identitas kolektif. Dalam konteks ini, Pesantren Al Hidayah Basmol di Jakarta Barat menjadi contoh menarik tentang bagaimana institusi pendidikan Islam tradisional berevolusi secara adaptif di tengah tantangan modernitas dan kompleksitas kehidupan urban.

Pesantren Al Hidayah menolak diam dalam menghadapi gelombang perubahan sosial seperti globalisasi, digitalisasi, dan pergeseran nilai-nilai generasi muda. Sebaliknya, pesantren ini melakukan transformasi yang menunjukkan kapasitas reflektif dan responsif yang tinggi. Menggunakan kerangka teori Hiroko Horikoshi tentang peran kyai sebagai agen perubahan sosial, Talcott Parsons tentang sistem sosial dan adaptasi, serta Anthony Giddens melalui teori strukturasi, kita dapat memahami perubahan yang terjadi bukan sebagai bentuk kompromi terhadap nilai-nilai keislaman, tetapi sebagai pembaruan dari dalam oleh aktor-aktor sosial pesantren itu sendiri.

Kyai dalam hal ini menjadi figur sentral yang tak hanya memiliki otoritas keagamaan, tetapi juga legitimasi sosial. Ia memainkan peran ganda: sebagai penjaga tradisi dan sekaligus pembaharu. Di tangan kyai, struktur pesantren yang hierarkis tidak menjadi penghambat perubahan, tetapi justru menjadi media efektif untuk melakukan transformasi secara organik dan bertahap. Hal ini sejalan dengan gagasan Parsons bahwa sistem sosial yang stabil tetap memiliki kemampuan adaptif tanpa kehilangan integritas strukturnya.

Salah satu wujud nyata dari dinamika adaptasi tersebut adalah reformasi metode pendidikan dari model represif dan otoriter menuju pendekatan yang lebih humanistik dan partisipatif. Tradisi hukuman fisik mulai digantikan dengan pendekatan pembinaan spiritual dan moral, seperti menulis istighfar dan penilaian berbasis poin. Transformasi ini menunjukkan bahwa pesantren mulai mengakui pentingnya agency santri dalam proses belajar—sebuah pergeseran penting dari paradigma pendidikan satu arah menuju pendidikan yang mendidik dalam arti sesungguhnya.

Lebih jauh, perubahan ini tidak berhenti pada aspek teknis, tetapi menyentuh struktur nilai dan kebudayaan pendidikan itu sendiri. Pendidikan di Pesantren Al Hidayah tidak hanya mengajarkan teks-teks Islam klasik seperti Jurumiyah dan Imrithi, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai sosial seperti solidaritas, tanggung jawab, dan toleransi. Kehidupan santri yang majemuk dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan pesantren sebagai ruang sosialisasi multikultural, yang memperkaya pengalaman hidup dan membentuk karakter inklusif. Ini adalah bentuk nyata dari hidden curriculum yang, dalam teori sosiologi pendidikan, menjadi medium penting dalam pembentukan watak dan karakter sosial siswa.

Kehadiran pesantren di tengah masyarakat kota juga membawa konsekuensi sosial yang besar. Lingkungan urban yang ditandai oleh mobilitas tinggi, keragaman sosial, dan terkadang individualisme ekstrem, membutuhkan institusi yang mampu menjaga kohesi sosial dan nilai-nilai kolektif. Pesantren Al Hidayah mengambil peran itu dengan menjalin hubungan sosial yang aktif dan harmonis dengan warga sekitar. Mereka tidak menutup diri, tetapi berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mendahulukan warga dalam distribusi bantuan, serta sigap menyelesaikan konflik sosial skala mikro. Ini menegaskan bahwa pesantren bukan hanya tempat pendidikan, tetapi juga agent of community building.

Dalam kerangka teori Giddens, perubahan sosial di pesantren bukanlah produk dari tekanan eksternal semata, melainkan juga hasil dari praktik sosial para aktor internal pesantren—terutama kyai dan pengasuh—yang terus-menerus mereproduksi dan sekaligus mentransformasi struktur sosial pesantren. Struktur, dalam hal ini, tidak kaku; ia lentur dan dibentuk oleh tindakan reflektif dari para aktor yang memahami konteks zaman.

Apa yang terjadi di Pesantren Al Hidayah juga menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak harus terjebak pada dikotomi tradisional-modern atau konservatif-progresif. Justru, kekuatan pesantren terletak pada kemampuannya untuk memadukan warisan intelektual Islam klasik dengan kebutuhan sosial kontemporer. Pendidikan di pesantren mampu mencetak manusia yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga cerdas secara sosial dan tangguh secara moral.

Pesantren Al Hidayah, dengan segala keterbatasannya sebagai pesantren skala menengah di kawasan urban, telah membuktikan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari lembaga besar. Justru, dari ruang-ruang kecil seperti ini, pendidikan yang membumi, kontekstual, dan transformatif bisa tumbuh dan berdampak luas. Pesantren menjadi ruang produksi nilai, ruang artikulasi identitas Islam yang terbuka, dan ruang penguatan masyarakat sipil berbasis spiritualitas.

Dengan demikian, dalam pandangan sosiologi pendidikan, Pesantren Al Hidayah adalah contoh konkret bagaimana pendidikan Islam tradisional dapat menjalankan perannya tidak hanya sebagai pewaris warisan ilmu, tetapi juga sebagai arsitek perubahan sosial. Ini adalah bukti bahwa lembaga pendidikan, ketika dikelola dengan kesadaran sosial yang tinggi, mampu menjadi pilar dalam menciptakan masyarakat yang tidak hanya religius, tetapi juga adil, toleran, dan beradab.

Ditulis Oleh: Wardah Rajaby, Nada Madzidah M. Nur, Suparyanto

Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Related Articles

- Advertisement -
ADV

BERITA TERBARU