Beberapa waktu lalu, Fery Irwandi—seorang konten kreator—melontarkan dua pernyataan. Pertama, ia menyebut bahwa filsafat seharusnya dihapus dari pembelajaran karena menurutnya, di era teknologi seperti sekarang, yang dibutuhkan adalah “orang yang bisa melaksanakan”, bukan yang berpikir berdasarkan logika atau asumsi. Kedua, ia menyatakan bahwa teori Marx sudah tidak relevan, karena Marx hidup sebelum hadirnya bank sentral dan perdagangan internasional modern.
Mengapa dua pernyataan ini problematik? Fery sebagai konten kreator mengabaikan akardari semua ilmu pengetahuan (filsafat). Seperti yang kita ketahui, mereduksi peran filsafat hanya sebagai “pemikiran tanpa aksi” adalah pandangan yang dangkal. Filsafat bukanlah lawan dari praktik, melainkan fondasi dari segala ilmu. Tanpa pertanyaanpertanyaan mendasar tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana”, kita tidak akan punya struktur berpikir yang kuat dalam teknologi, sains, hukum, bahkan etika. Teknologi tak lahir dari ruang hampa. Internet, kecerdasan buatan, bahkan metode ilmiah—semuanya berdiri di atas landasan filsafat. Ilmu eksakta seperti matematika dan fisika berakar pada logika dan metafisika: Aristoteles, Pythagoras, Descartes, hingga Newton dan Einstein, semua berangkat dari pertanyaan filosofis sebelum mereka menemukan formulasi teknisnya. Maka menghapus filsafat dari pembelajaran karena dianggap “tidak aplikatif”, bukan hanya keliru, tapi membahayakan cara berpikir generasi masa depan. Kita butuh orang yang mampu berpikir sebelum bertindak, bukan sebaliknya.
Pernyataan Fery—bahwa teori Marx tidak relevan karena dibuat sebelum bank sentral dan global trade modern, juga keliru secara pemahaman. Fery tampaknya melihat Marx seperti melihat seorang pembuat kebijakan ekonomi, padahal Marx adalah seorang
kritikus sistem. Marx tidak sedang menyusun kerangka kebijakan moneter. Ia mencoba menjelaskan bagaimana kapitalisme menciptakan ketimpangan, alienasi, dan eksploitasi, melalui struktur kepemilikan dan relasi produksi. Kritik Marx justru semakin relevan hari ini, saat kita menyaksikan ketimpangan ekonomi global, dominasi korporasi raksasa, serta krisis iklim dan kemanusiaan yang didorong oleh logika keuntungan tanpa batas.
Apakah semua pemikiran Marx harus diterapkan secara kaku? Tentu tidak. Tapi mengabaikan kritik Marx hanya karena ia lahir di abad 19 adalah kesalahan logika historis. Kritik terhadap sistem tidak harus menua bersama zamannya. Justru kita harus menempatkannya dalam konteks baru. Tulisan ini tidak bermaksud menyerang pribadi, namun sebagai pengingat: di era dimana informasi dapat diakses dimanapun, konten kreator memiliki tanggung jawab epistemik. Menyebarkan pandangan yang menyesatkan, apalagi jika menyangkut dasar-dasar berpikir dan pemahaman sejarah, bisa berbahaya jika diterima mentah-mentah oleh publik. Maka, mari kita bedakan antara opini bebas dan pendapat yang informatif dan berdasar. Kita boleh berpendapat, tapi kita juga wajib mempelajari konteks dan dampaknya. Filsafat dan pemikiran kritis bukan musuh teknologi, justru ia adalah syarat bagi teknologi yang manusiawi.
Salam hormat untuk semua yang masih berpikir, dan bebas melontarkan pendapat.
Penulis : Hidayat Tjikoa