Jakarta, Alltime.id. Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi, Sabtu 30 Agustus 2025, cuaca Jakarta cerah, setelah semalam diguyur hujan dan air mata, saya dalam perjalanan menuju ke Kebayoran Baru. Dalam perjalanan, terlihat jelas sisa gedung terbakar yang katanya diakibatkan oleh amukan massa selama aksi kemarin. Banyak fasilitas umum yang rusak, mobil terbakar, dan tembok penuh dengan cacian serta makian. Lalu, apakah ini merupakan perbuatan yang salah? Tentu tidak! Kondisi ini diakibatkan oleh pemimpin yang tidak mampu membawa keadilan bagi masyarakat.
Konflik antara sipil dan negara mulai memanas akhir-akhir ini. Kita bisa melihat jauh ke belakang bahwa konflik ini bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Krisis moral politik adalah penyebab utamanya. Siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja partai politik dan aktor di belakangnya yang paling bertanggung jawab!
Reformasi partai politik sudah lama digaungkan. Partai politik merupakan elemen penting dalam demokrasi modern. Rusaknya kaderisasi partai politik berdampak pada kestabilan negara. Partai politik yang koruptif, manipulatif, serta tidak kompetitif akan melahirkan pemimpin yang tidak memiliki kompetensi dalam mengurus negara.
Kita mengharapkan tokoh yang dihasilkan dari suatu produk partai politik mampu memperjuangkan aspirasi dan hak masyarakat sipil, namun yang terjadi justru sebaliknya. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kesalahan ini hanya ada pada aktor, sebab rata-rata partai politik belum melakukan kaderisasi secara matang. Kaderisasi partai hanya berhenti pada formalitas semata ketimbang melahirkan pemimpin yang ideologis dan peduli pada masyarakat.
Ongkos politik yang besar membuat banyak kader partai harus menggadaikan idealisme mereka dengan meminjam uang, atau bahkan menjalin hubungan gelap dengan kelompok pemodal yang bersedia membiayai kampanye serta pemilihan mereka. Inilah asal mula hubungan aliansi politik-bisnis terbentuk. Bahkan tak sedikit pula partai politik yang justru menyasar orang-orang dengan kemampuan finansial lebih untuk dicalonkan. Politisi kita dipenuhi oleh pengusaha, pebisnis, artis, pensiunan militer, dan mereka yang memiliki kuasa atas modal produksi.
Lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif kini bermain mata. Tiga lembaga yang seharusnya saling mengawasi malah saling menutup mata terhadap ketidakadilan. Konsep trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf asal Inggris, yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul L’Esprit des Lois. Konsep ini membagi suatu pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Indonesia, sebagai tanah air tercinta, memang menganut konsep ini, tetapi dalam penerapannya nyaris nihil.
Jika tidak ada reformasi dalam tubuh partai politik saat ini, kita akan terus melahirkan pemimpin yang koruptif dan manipulatif. Kaderisasi yang cacat akan melahirkan kader yang cacat pula. Partai politik harus segera berbenah demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat.
Rezim berganti, apakah hasilnya berbeda? Sampai saat ini kondisinya tetap sama. Keadilan sosial belum terwujud, kesenjangan sosial-ekonomi justru makin jelas terlihat. Rakyat merana membayar pajak, sementara tunjangan DPR terus naik. Kekacauan politik ini disebabkan oleh partai politik kita yang tidak mau belajar dari sejarah, masa bodoh dan acuh. Ketika Soeharto digulingkan dari kekuasaan, kita menginginkan demokrasi yang semakin sehat, tetapi faktanya, rakyat justru makin sengsara.
Penulis : Prince Barakati