“yang paling berbahaya dari manusia adalah kehilangan berpikir kritis, yang akhirnya berani melakuka kejahatan atas nama kebenaran, akhirnya kebenaran dan kejahatan tidak lagi memiliki tabir”.
Di Kwitang masa aksi menjarah beberapa gedung, mulai dari komputer hingga tabung oksigen, nampaknya rumah Anggota DPR RI juga ikutan dijarah warga, Syahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, juga ikut dijarah, kita tidak menginginkan adanya hal demikian tapi mengapa itu terjadi? Dari manakah rakyat mempelajarinya? Dari siapa rakyat mencontoh perilaku kejahatan? Apakah kejahatan seperti itu merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan?
Saat berhadapan dengan suatu kejahatan kita perlu melihat apakah kejahatan yang dilakukan oleh manusia tersebut karena memang jahat, ataukah justru kejahatan tersebut bisa memilih siapa yang akan melakukan, Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, mencoba melihat kejahatan yang dilakukan oleh Eichmann di masa perang dunia ke-2 saat masih menjadi tentara Nazi Jerman, yang membunuh orang Israel karena dasar kepatuhan kepada perintah pimpinan, kemudian diadili oleh pemerintah Israel, merupakan bentuk dari ketidakhadiran berpikir rasional, Eichmann melakukan hanya karena kepatuhan kepada perintah.
Ketiadaan berpikir dapat menjadikan kejahatan terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan. Orang-orang biasa seperti Eichmann meminjam bahasa Arendt, bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak orang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan iblis, wajahnya pasti sangar, matanya kejam dan badannya besar. Namun faktanya tidaklah seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas, dan patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam di dalam dirinya. “Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan sekalipun,” kata Arendt, dalam bukunya.
Di Indonesia banalitas kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontanitas, ia hadir dari relasi kuasa yang menindas mayasarakat, Rieke Diah Pitaloka Melalui tesisnya yang akhirnya dibukukan, Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara mencoba memotret kecenderungan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di masa Orde Baru dengan yang terjadi ketika Hitler memimpin Nazi Jerman, memliki kesamaan.
Pertama, sebagaimana Nazi dengan karakter totalitarianisme, rezim Orde Baru juga menggunakan mekanisme totaliter dalam menjalankan negara. Ini, misalnya, terlihat dari adanya satu orang sebagai pemimpin tertinggi (absolut), sistem satu partai, polisi rahasia, dan pembersihan berulang-ulang dengan alasan “musuh bersama” (musuh imajiner).
Kedua, sebagaimana di Jerman, kejahatan yang dilakukan negara sepanjang rezim Orde Baru sangat lumrah terjadi. Misalnya, penggusuran paksa dengan melibatkan ormas untuk bentrok, penembak misterius (petrus), dan kekerasan aparat kepada demonstran. Lama kelamaan, kata Rieke, macam-macam kekerasan ini menjadi hal biasa bagi masyarakat.
Kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh warga negara tidak sebanding dengan kekerasan yang mereka terima, bukan berarti kita mencontoh apa yang dilakukan negara, tapi rakyat yang marah dengan situasi negara adalah tanda bahwa pemerintah kita gagal mendistribusikan keadilan.
Papua, Morowali, Manado hingga Maba Sangadji adalah contoh kejahatan atas nama kestabilan ekonomi yang dilakukan negara dengan pendekatan kekerasan melalui tangan baja mereka: Polisi dan Militer. Yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah bukti bahwa hukum sejauh ini masih mementingkan bisnis ketimbang kesejahteraan masyarakat.
Aksi sejumlah mahasiswa dan masyarakat di Manado pada tanggal 01 September 2025 di Gedung DPRD memperhadapkan mereka dengan kelompok masyarakat adat, ini merupakan cara negara membenturkan masyarakat, sebagaimana ditulis Rieke bahwa, individu yang melakukan kekerasan dalam ormas berlandaskan agama, secara tak sadar sesungguhnya bukan karena agama secara an sich, melainkan kondisi kesepian (loneliness).
Individu yang kesepian akan kehilangan kepercayaan diri dan akan kehilangan nuraninya, akibatnya kemampuan berpikir kritis juga ikut menghilang, Maka, tulis Rieke, dalam kondisi demikian, “manusia kesepian” akan sangat mudah termakan propaganda dan percaya pada ideologi yang sifatnya mendikte kepala yang tak kritis. Termasuk dogma kekerasan ala Orde Baru sekalipun.
Wujud dari pemerintahan predatoris adalah melemahkan seluruh lembaga demokrasi untuk kepentingan mereka, dengan sengaja menghisap sumber daya alam dan mengakumulasi kapital. hasilnya tidak ada satupun kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Mimpi tentang keadilan akan diulang, digemakan tiap mendekati pemilu adalah omong kosong.
Oleh karena itu, kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh warga negara saat aksi sepanjang Agustus dan September adalah adanya relasi actor dalam negara, negara melakukan korupsi tapi dibenarkan oleh konstitusi.
Penulis : Prince Barakati