Klarifikasi Janggal Masdar Mansur, Cermin Kedunguan Politik Sebagai Anggota DPRD Halmahera Selatan

ADV

Halmahera Selatan tengah menyaksikan drama politik murahan yang memalukan. Seorang anggota DPRD dari PDI Perjuangan, Masdar Mansur, terjerat oleh jejak digital yang ia sendiri ciptakan. Bukan karena substansi wacana pembubaran DPR yang ia komentari, melainkan karena kebohongan dan kedunguan dalam mengelola tanggung jawab sebagai wakil rakyat.

Pada 3 September 2025, saat dikonfirmasi Nalarsatu.com, Masdar jelas-jelas mengakui bahwa status Facebook yang menyebut pembubaran DPR sebagai “orang goblok” adalah miliknya. Ia hanya berkilah bahwa status itu sudah dihapus sejak dua minggu lalu. “Itu status dua minggu lalu, dan saya sudah hapus. Saya juga heran kenapa baru sekarang ramai. Kalau ada yang merasa tersinggung, saya sampaikan permohonan maaf,” katanya singkat.

Namun keesokan harinya, 4 September 2025, skenario berubah. Klarifikasi tidak keluar dari akun Masdar Mansur Real, melainkan dari akun Ichy Assifa Amahoro, seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai calon istrinya. Ichy mengaku bahwa dialah yang menulis status kontroversial itu, bukan Masdar.

Di titik ini publik langsung dipermainkan. Bagaimana mungkin seorang politisi dewasa, anggota DPRD, melempar tanggung jawab kepada calon istrinya? Bagaimana mungkin klarifikasi resmi seorang wakil rakyat justru muncul di akun pribadi perempuan yang jelas bukan representasi lembaga?

Ironinya, baik status asli di akun Masdar maupun klarifikasi di akun Ichy kini sudah dihapus. Seakan publik bisa dikelabui hanya dengan menghapus jejak digital. Padahal, tangkapan layar beredar luas dan membuktikan kontradiksi yang telanjang.

Lebih memalukan lagi, dalam pengakuan tangkapan layar, Ichy sendiri mengaku menulis status itu, tetapi kemudian justru meragukan cara penulisannya: “Memang benar sy buat status itu, tapi masa iyaa langsung di SS… trus cara penulisan ada yg aneh gitu..” Sebuah pengakuan yang membantah dirinya sendiri. Publik makin yakin, ada skenario klarifikasi palsu yang dipaksakan.

Dari sini terlihat jelas pola kedunguan dalam berpolitik. Pertama, seorang anggota DPRD tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi menyalahkan orang lain, bahkan calon istri, demi menyelamatkan muka. Kedua, ia meremehkan kecerdasan publik dengan berpikir bahwa penghapusan status bisa menutup aib politik. Ketiga, alih-alih memperbaiki kesalahan dengan jujur, ia justru menambah kebohongan yang lebih besar.

Klarifikasi berlapis dan saling bertentangan ini bukan sekadar soal etika pribadi, melainkan juga soal krisis integritas politik. Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat—yang digaji dari uang rakyat—bersembunyi di balik akun orang lain? Bagaimana mungkin kepercayaan konstituen dikhianati dengan begitu sembrono?

Kasus Masdar Mansur bukan kasus sepele. Ini bukan lagi soal satu status Facebook. Ini tentang bagaimana DPRD Halmahera Selatan dirusak oleh kedunguan dan ketidakjujuran anggotanya sendiri. Wakil rakyat seharusnya menjunjung tinggi tanggung jawab publik, tetapi yang diperlihatkan justru mentalitas murahan: mengelak, melempar, dan menghapus jejak.

Jika kebohongan semacam ini dibiarkan, DPRD Halmahera Selatan hanya akan menjadi panggung komedi politik, tempat wakil rakyat sibuk mencari alibi ketimbang bekerja untuk rakyat. Kepercayaan publik yang retak akan makin sulit dipulihkan.

Pada akhirnya, publik tidak bodoh. Jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja, dan akal sehat rakyat jauh lebih tajam daripada klarifikasi yang dibungkus kebohongan. Masdar Mansur mungkin bisa bersembunyi di balik nama calon istri, tapi ia tidak bisa lari dari kenyataan: ia telah gagal menunjukkan integritas sebagai wakil rakyat.

Skandal ini harus menjadi pelajaran: bahwa kedunguan dalam berpolitik bukan hanya merugikan citra pribadi, tetapi juga merusak martabat lembaga legislatif yang seharusnya dihormati.

Related Articles

- Advertisement -
ADV

BERITA TERBARU