Kemerdekaan yang Dibelokkan: Rakyat Menanggung, Elit Menikmati

ADV

Lebih dari delapan dekade sudah bangsa ini merdeka. Bendera merah putih berkibar setiap tahun, pidato tentang perjuangan selalu lewati ditelinga, dan slogan “Indonesia Merdeka” terus menggema di berbagai ruang publik. Namun, ada pertanyaan yang tak pernah usang untuk diajukan: benarkah rakyat sudah merasakan kemerdekaan yang sejati?

Jika kemerdekaan dimaknai sebagai kebebasan dari penjajahan fisik, jawabannya jelas: kita sudah merdeka. Akan tetapi, bila kemerdekaan dimaknai sebagai terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan bersama, dan perlindungan terhadap rakyat kecil, maka jawabannya sungguh pahit. Kenyataan hari ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sering kali hanya sebatas simbol, sementara rakyat terus menanggung beban akibat kebijakan negara yang timpang.

Ironisnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya membawa kesejahteraan justru kerap menghadirkan penderitaan baru. Pemerintah, yang diberi mandat rakyat untuk menegakkan keadilan, tampak menjalankan logika terbalik: rakyat dikorbankan, elit dimanjakan.

Wakil Rakyat, atau Wakil Kepentingan?

Publik kembali dikejutkan oleh kabar kenaikan tunjangan anggota DPR. Gaji pokok memang tidak berubah, tetap berkisar Rp6,5–7 juta per bulan. Namun, berbagai tunjangan naik drastis: tunjangan beras melonjak hingga Rp12 juta per bulan, tunjangan bensin sekitar Rp 7 juta per bulan, bahkan tunjangan perumahan mencapai Rp50 juta per bulan bagi mereka yang tidak menempati rumah dinas.

Di saat banyak keluarga rakyat jelata harus menakar beras dengan hati-hati, para “wakil rakyat” justru menambah kenyamanan hidup mereka dengan angka fantastis. Bukankah mereka dipilih untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan mempertebal dompet pribadi? Pertanyaan retoris ini seakan menemukan jawabannya sendiri: wakil rakyat lebih sering menjadi wakil kepentingan, yang menikmati hasil kursi empuk parlemen sambil menutup mata pada penderitaan rakyat.

Apakah pantas seorang legislator menikmati tunjangan puluhan juta, sementara guru honorer di pelosok masih berjuang dengan gaji setara uang bensin mereka? Apakah pantas rakyat diminta bersabar menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok, sementara elit politik terus menambah privilese? Kebijakan tunjangan DPR ini memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara rakyat yang diwakili dan wakil yang duduk di kursi kekuasaan.

PBB-P2 yang Membebani, Bukan Mensejahterakan

Ironi kian lengkap ketika kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) diberlakukan di berbagai daerah. Pati menjadi contoh paling mencolok, dengan kenaikan mencapai 250% yang akhirnya memicu demonstrasi besar-besaran. Gelombang protes itu bahkan berujung pada bentrokan, hingga pemerintah daerah terpaksa membatalkan kebijakan tersebut.

Namun, Pati bukanlah satu-satunya. Sedikitnya 104 daerah lain juga menaikkan tarif PBB-P2, dengan 20 daerah menetapkan kenaikan lebih dari 100%. Di Cirebon, kenaikan hampir menyentuh 1.000%. Di Jombang, kenaikan mencapai 800%, sementara di Semarang lebih dari 400%. Angka-angka ini jelas memberatkan rakyat, apalagi dilakukan tanpa sosialisasi memadai.

PBB yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan pembangunan justru berubah menjadi alat penindasan. Tanah yang diwariskan orang tua, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi sumber beban baru. Apakah ini yang dimaksud dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Kejar Pajak “Ekonomi Hitam” Pemerintah incar pedagang eceran Di 2026.

Keresahan rakyat makin dalam ketika pemerintah berwacana memperluas basis pajak hingga menyasar pedagang eceran dengan alasan memberantas “ekonomi hitam”. Bukannya menutup celah penghindaran pajak korporasi besar, negara justru lebih mudah membidik kelompok rentan.

Pedagang pasar tradisional, yang semestinya dilindungi, malah dihadapkan pada regulasi fiskal yang memberatkan. Pajak yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, malah bias arah: menghantam yang lemah, melonggarkan yang kuat.

Logika Terbalik yang Mengkhianati Makna Kemerdekaan

Kenaikan tunjangan DPR, lonjakan PBB, hingga wacana pajak pedagang kecil memperlihatkan pola yang sama: rakyat menanggung, elit menikmati. Sebuah logika terbalik yang mengkhianati makna kemerdekaan.

Bukannya menghadirkan kebijakan yang membebaskan rakyat dari beban, pemerintah justru memperberat langkah mereka. Bukannya menegakkan keadilan, kebijakan justru memperlebar jurang ketidakadilan. Bukannya menjalankan amanah rakyat, pemerintah lebih sering terjebak dalam kepentingan elit.

Pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah ini wujud dari kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata? Apakah kemerdekaan hanya sebatas upacara tahunan, pengibaran bendera, dan pidato pejabat, sementara isi perut rakyat tetap kosong?

Merdeka yang Sejati

Kemerdekaan sejati seharusnya tercermin dalam kebijakan publik yang adil dan berpihak. Kemerdekaan hadir ketika rakyat bisa membeli beras tanpa harus menakar dengan cemas, ketika ruang hidup tidak lagi di rampas untuk pembangunan yang hanya menguntungkan elit, ketika pajak benar-benar menjadi instrumen keadilan, bukan penindasan.

Tanpa itu semua, kemerdekaan hanyalah simbol kosong yang kehilangan makna. Kita mungkin bebas dari penjajahan asing, tetapi tetap terpenjara oleh kebijakan negeri sendiri.

Maka, jika pemerintah terus menerapkan logika terbalik—mengorbankan rakyat demi kenyamanan elit—maka wajar bila rakyat mempertanyakan kembali: benarkah kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya?

Penulis : Rama Abd Fatah (Ketua I PKC PMII Sulawesi Utara)

Related Articles

- Advertisement -
ADV

BERITA TERBARU