Kenapa Harus Ada Komcad ?
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memulai program unggulannya: Makan Bergizi Gratis, sebuah inisiatif ambisius yang menyasar anak-anak Indonesia agar mendapatkan asupan gizi layak demi masa depan yang lebih sehat. Namun, program ini tidak hanya menarik perhatian karena skalanya yang masif, tetapi juga karena pelibatan Komponen Cadangan (Komcad)sebagai pelaksana program di tingkat lapangan. Sebanyak 30.018 Komcad lulusan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Batch 3 kini diangkat menjadi Kepala Satuan Pelayanan dan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah Indonesia. Padahal, secara hukum, Komcad adalah kekuatan cadangan militer yang hanya boleh digunakan untuk kepentingan pertahanan negara.
Komcad dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Dalam Undang-undang tersebut, Komcad adalah bagian dari komponen pertahanan, bukan bagian dari struktur sipil apalagi sebagai pelaksana program makan bergizi. UU tersebut bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa Komcad hanya dapat dimobilisasi dalam konteks darurat pertahanan negara, dan hanya boleh dikerahkan atas keputusan Presiden serta persetujuan DPR. Fungsi utama Komcad adalah memperkuat TNI, bukan melayani program sosial. Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021, Komcad tetap diposisikan dalam lingkup pertahanan, dan tidak ditemukan pasal yang menyebutkan kemungkinan
Komcad ditugaskan di sektor sosial, pangan, atau pelayanan publik sipil.
Mengapa Harus Ada Pelatihan Militer untuk Program Gizi ?
Program makan gratis adalah soal teknis manajemen layanan publik (cukup pelatihan manajerial). Ini pekerjaan ASN, pekerja sosial, tenaga kesehatan, dan penggerak local (Komunitas social didaerah). Tapi pemerintah justru merekrut sarjana, melatih mereka secara militer, lalu menugaskan mereka untuk mengurusi dapur dan logistik. Ini logika yang terbalik. Seperti mengirim marinir untuk bertani, atau melatih dokter dengan pelatihan perang.
Bukan hanya tak efisien, pendekatan ini juga menyimpang dari prinsip demokrasi: pemisahan yang tegas antara sipil dan militer. Ketika pemerintah mulai merasa bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan pendekatan militer, saat itulah demokrasi berada di ujung tanduk. Namun yang dilakukan justru pelatihan militer bagi ribuan sarjana, kemudian mereka dilibatkan dalam program sipil. Ini membuka pertanyaan serius tentang militerisasi fungsi sipil dan potensi pembelokan fungsi hukum dari Komcad itu sendiri.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam buku “Tentara dan Politik: Perjalanan Dwifungsi ABRI”, yang ditulis Salim Said menggambarkan dengan rinci bagaimana TNI (dulu ABRI) sejak awal Orde Baru tidak hanya menjadi alat pertahanan, tetapi juga alat politik dan sosial kekuasaan. Melalui doktrin Dwifungsi ABRI, militer mengisi jabatan-jabatan sipil dari pusat hingga daerah: gubernur, bupati, menteri, bahkan hingga kepala sekolah.
Menurut Salim Said, militerisasi ruang sipil dimungkinkan karena negara membangun narasi bahwa stabilitas nasional adalah urusan militer—termasuk ekonomi dan sosial. Maka, ketika militer masuk ke kantor camat, ruang kuliah, pasar tradisional, hingga organisasi pemuda, itu dianggap sah. Karena militer bukan hanya alat tempur, tetapi “penjaga bangsa” dalam makna yang amat luas.Pasca-Reformasi 1998, Dwifungsi ABRI secara resmi dihapus. Namun, Salim Said mencatat dengan tajam bahwa mentalitas dan struktur lama tidak serta-merta hilang. Mereka hanya berganti rupa, lebih halus, dan kadang muncul dalam “panggilan pengabdian” seperti sekarang ini—atas nama pembangunan atau kesejahteraan.
Di atas kertas, mereka bukan TNI aktif. Tapi faktanya, mereka menjalani pelatihan militer, tunduk pada struktur komando, dan disiapkan untuk “siaga mobilisasi.” Sementara itu TNI aktif di kerahkan mengurusi urusan-urusan Sipil melalui pengesahan RUU TNI beberapa waktu lalu. Ketika fungsi-fungsi sosial seperti layanan gizi dan pendidikan mulai dikuasai oleh barisan yang berwatak militeristik, kita patut bertanya: masihkah kita memiliki ruang sipil yang otonom dan berdaulat?.
Pelibatan Komcad dalam program sosial bisa dibaca sebagai upaya membangun kontrol sosial berbasis kedisiplinan militer. Dengan struktur hierarkis dan budaya kepatuhan absolut, Komcad menjadi alat negara yang lebih mudah diarahkan dibanding ASN atau organisasi masyarakat sipil yang cenderung kritis.
Tapi negara yang mengandalkan ketaatan buta lebih berbahaya daripada negara yang repot menghadapi kritik.Demokrasi tidak dibangun dari barisan yang seragam dan baris-berbaris. Ia tumbuh dari perdebatan, keberagaman pendekatan, dan partisipasi sipil yang kuat. Ketika negara makin percaya pada seragam, maka yang hilang adalah kreativitas, empati, dan nalar publik. Prabowo memang datang dari tradisi militer. Tapi ia kini adalah presiden sipil. Jika negara ingin memperbaiki gizi rakyatnya, banyak jalan yang bisa ditempuh tanpa harus mengaburkan batas sipil dan militer. Jika garis itu terus dikikis, maka cepat atau lambat kita akan menemukan militer di mana-mana: di sekolah, pasar, posyandu, bahkan dapur rakyat.
Jika tidak diawasi dengan cermat, pelibatan Komcad dalam program gizi bisa menjadi preseden yang berbahaya. Ke depan, akan semakin kabur batas antara mana tugas pertahanan dan mana tugas pembangunan. Kita harus bersuara sebelum segalanya terlambat, sebelum dapur rakyat benar-benar menjadi domain militer, dan program sosial menjadi alat politik dengan seragam loreng.
Penulis : Rama Abdul Fatah